Di suatu kelas, ada percakapan antara guru dan murid. “Anak-anak, coba ingat-ingat dan tuliskan min tiga kelebihan yang engkau punyai, ” kata guru
Menit demi menit berlalu namun para murid itu seakan masih bingung.
Dengan setengah berakting, sang guru kemudian bersuara keras : “Ayo, tuliskan! Kalau ngga, waktunya tinggal 2 menit lagi” Anak-anak manis itu seketika menjadi salah tingkah.
Beberapa di antara mereka, memang tampak mulai menulis. Salah satu di antara mereka menulis di atas kertas, “Kadang-kadang nurut sama ibu. Kadang-kadang membantu ibu. Kadang-kadang nrapikan tempat tidur sendiri.”
Penuh rasa penasaran, sang guru bertanya kepadanya : “Kenapa tulisnya kadang-kadang? “. Dengan wajah penuh keluguan, sang bocah hanya berkata : “Emang cuma kadang-kadang, bu guru”
Ketika semua anak telah menuliskan kelebihan dirinya, sang guru kemudian melanjutkan instruksi berikutnya : “Sekarang anak-anak, coba tuliskan tiga kelemahanmu atau hal-hal yang buruk dalam dirimu.”
Seketika ruangan kelas menjadi gaduh. Anak-anak tampak bersemangat. Salah satu dari mereka angkat tangan dan bertanya : “Tiga saja, pak guru?”. “Ya, tiga saja!” jawab pak guru. Anak tadi langsung menyambung : “Pak guru, jangankan tiga, sepuluh juga bisa!”.
Apa pelajaran yang bisa kita petik dari cerita sederhana itu? Setidaknya, memang kita lebih mudah menyebutkan keburukan kita dibanding mengetahui kelebihan yang kita miliki. Karena memang hal-hal negatiflah yang sering kita dengar tentang diri kita. Kita lebih sering dipandang sebagai anak yang nakal, tidak nurut sama orang tua, suka malas, tidak mau membantu orang tua, susah belajar, anak bodoh dan masih seabrek lagi predikat yang lebih sering kita sandang ketimbang, dipuji sebagai anak yang baik, suka membantu, rajin, penurut, sholeh sholehah, rajin sholat, rajin ngaji, mau makan banyak, cepat pintar.
Sehingga kita menjadi apa yang sering orang sangkakan tentang diri kita termasuk persangkaan orang tua kita.
Padahal sesungguhnya setiap manusia pasti memiliki kelebihan dibanding orang lain. Mungkin kita memang lemah di bidang matematika, fisika, tapi boleh jadi kita adalah orang yang gampang bergaul (bersosialisasi), murah senyum. Namun sering kali orang melupakan hal tersebut hanya gara-gara nilai raport kita tidak memenuhi standar orang tua.
Sehingga kita harus bisa membuka mata kita lebar-lebar, manakah yang merupakan kelebihan kita ataupun anak kita. Jangan karena gagal dalam beberapa mata pelajaran maka seorang anak dianggap sebagai anak yang gagal dalam sekolahnya.
Maka fokuskan perhatian pada kelebihan kita (anak kita) dan bukan kelemahan kita.